Kamis, 09 Juni 2011

Pendidikan VS Ujian Nasional

IMPLIKASI UJIAN NASIONAL SEBAGAI PENENTU KELULUSAN
Oleh: Anhar

Kontroversi terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tetap menjadi fenomena yang hangat untuk diperbincangkan. Sejak Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN), kemudian kini berubah menjadi Ujian Nasional (UN), sebenarnya telah terjadi perusakan moral, kredibilitas, dan hak asasi manusia—terutama pendidik dan peserta didik—dalam menunjukkan konsekwensi penilaian terhadap aktivitas yang telah dilakukan selama bertahun-tahun.
Setelah hasil Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan/keberhasilan peserta didik selama 3 tahun, penulis menilai bahwa minimal 2 hal yang harus dipertaruhkan demi kebanggaan di mata masyarakat dan atasan. Pertama, mata pelajaran yang ditekankan lulus hanya mata pelajaran yang di-UN-kan, sedangkan mata pelajaran yang di-US-kan bisa direkayasa oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.Hal ini terlihat dari kontrol les (penambahan materi dan pengayaan) yang dilakukan secara intensif pada beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan, lalu bagaimana halnya dengan mata pelajaran yang di-US-kan? Pernyataan ini bukan menafikan pentingnya kelulusan di mata pelajaran yang tidak di-UN-kan, akan tetapi muncul tindakan pelecehan dan penganaktirian terhadap mata pelajaran-mata pelajaran tersebut.
Apabila mau mengakui secara jujur, di beberapa sekolah yang masih mencari jatidirinya melalui prosentase kelulusan UN, dikotomi tersebut sangat jelas terlihat dengan pelaksanaan berbagai bimbingan yang sangat intensif walaupun menelan biaya besar. Rasa bangga atas keberhasilan yang diperoleh merupakan hal yang sangat wajar, akan tetapi kita jarang berpikir tentang masa depan peserta didik yang mencari figur untuk bisa diteladaninya. Penulis mengutip pengalaman salah seorang Profesor Pendidikan Islam yaitu Prof. Dr. Mohammad Room, bahwa pendidikan yang kita berikan kepada anak hari ini, bukanlah untuk mereka nikmati hari ini, tapi untuk mereka rasakan pada masa yang akan datang. Berangkat dari kata-kata itu, maka tidak sewajarnya ada dikotomi terhadap mata pelajaran yang ada di lembaga pendidikan itu.
Kedua, Hal kedua yang dipertaruhkan dengan adanya UN sekarang adalah moral dan kejujuran. Apabila kita sering mengikuti acara di televisi seperti Jon Pantau, ngerjain, Kuya, Toloong, menunjukkan betapa mahalnya harga sebuah kejujuran di negeri ini. Belum lagi para Dewan terhormat di berbagai Negara yang hilang rasa malu sehingga rela berkelahi di forum persidangan. Fenomena ini apabila dirunut ke belakang dengan kaca mata pendidikan, antara lain disebabkan oleh merosotnya rasa kejujuran dan moral pada masing-masing individu, kurang diperhatikan pendidikan akhlak, lebih condong diberikan pendidikan yang berbasis material.
Di samping itu, dengan adanya UN yang ditekankan pada kelulusan 100%, segala cara ditempuh tanpa peduli terhadap moral dan kejujuran. Hal yang demikian, banyak dirasakan oleh para pendidik yang ingin hidup dengan idealismenya, yang akhirnya mereka bagaikan burung dalam sangkar, di satu sisi ingin hidup bebas, tapi di sisi lain sudah hidup dalam lingkaran yang sangat sulit ditembusnya.
Penulis tidak menyalahkan sistem pendidikan Barat, yang selama ini dinilai negatif oleh kebanyakan orang di Indonesia, yang masih keliru adalah kebanyakan orang Indonesia yang mengadopsi sistem tersebut tanpa menyeleksi dan mengasimilasikan dengan budaya ke-Timur-an. Di Barat menerapkan sistem KTSP setelah disediakan sarana prasana yang memadai, yang dapat menunjang proses kegiatan belajar mengajar, seperti digital library, books library, sufficient donation, rasio guru dan siswa per kelas balance. Mereka sudah siap dalam menjawab permasalahan yang timbul, yang terkait dengan kebutuhan pendidikan, namun di Indonesia, yang terjadi hanya kamoplase dan latah yang tiada bertepi.
Akibat UN
Berpijak dari kedua pengorbanan di atas, penulis dapat memaparkan berbagai akibat yang timbulkan oleh adanya UN, yaitu:
1. Akhlak dan etika peserta didik kurang dapat dikendalikan. Hal ini muncul karena peserta didik menganggap mata pelajaran yang di-US-kan sebagai lesson second, dengan semikian, guru-guru yang mengajar mata pelajaran tersebut kurang dihargai oleh peserta didik.
2. Sebagai adanya akibat pertama di atas, perhatian peserta didik untuk mencari sumber belajar tentang materi pelajaran yang di-US-kan, kurang. Hal tersebut nampak pada minat peserta didik mencari buku-buku yang menyangkut mata pelajaran yang di-US-kan sangat rendah, bahkan beralasan belum cukup uang, sulit mendapatkan bukunya, dan sebagainya.
3. Terkait dengan kedua akibat di atas, pihak sekolah secara tidak langsung juga mendukung tindakan siswa tersebut. Dari beberapa sekolah yang masih mencari jati diri melalui prosentase kelulusan UN, buku-buku yang disediakan adalah buku-buku tertentu. Dalam bidang Pendidikan Agama Islam umpamanya, yang tersedia hanyalah Alqur’an dan terjemahnya di bagian referensi di perpustakaan dengan jumlah yang sangat minim dan keadaan yang sangat lusuh, perlengkapan salat tidak sesuai dengan rasio kuantitas peserta didik yang membutuhkan. Kalaupun ada penambahan dari beberapa jenis alat salat, diperoleh dari amal imtak yang dikumpulkan peserta didik.
4. Dengan adanya UN sebagai penentu kelulusan, dikotomi mata pelajaran berjalan dengan lancar seperti tanpa masalah. Mata pelajaran yang di-US-kan hanya sebagai mata pelajaran pelengkap, yang kurang memegang peranan dalam membimbing peserta didik meraih cita-cita yang diimpikan sebelumnya. Hal ini dapat mengakibatkan pendikotomian lembaga pendidikan keagamaan, seperti madrasah, yang banyak beranggapan bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif terburuk—daripada tidak sekolah—karena apabila dilihat dari kualitas pendidikan kebanyakan masih kurang link and match dengan kebutuhan zaman global.
5. Dari rangkaian akibat-akibat di atas, maka muncullah akibat yang selama ini menjadi buah bibir para pahlawan tanpa tanda jasa yang memiliki idealisme terhadap masa depan peserta didik, yaitu usaha membantu peserta didik agar tetap lulus dalam menempuh UN, walaupun dengan cara yang tidak terpuji. Kasus tersebut bisa saja terjadi di mana-mana, bahkan penulis lebih condong menyebutnya sebagai langkah yang mengkerdilkan arti kejujuran yang selama ini kita impikan.
Konsistenkah pemerintah dengan UN?
Ada suatu gambaran yang lucu dengan keputusan pemerintah dalam menindaklanjuti kegiatan UN. Pada tahun 2011, pemerintah mebuat sebuah kebijakan yang sedikit berubah dengan kebijakan yang dibuat pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2011, sekolah diberikan celah bermain cantik untuk membantu peserta didik agar lulus dalam UN yaitu dengan mengambil nilai sekolah 40%. Hal tersebut dalam analisa saya merupakan gambaran bahwa penyelengaraan pendidikan di Indonesia masih merupakan ujicoba. KTSP yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menentukan arah yang mau dicapai, ternyata merupakan tameng pemerintah agar tidak terlalu terlihat dengan sentralistik yang mereka pegang.
Patut dicermati, bahwa di beberapam kabupaten/kota ternyata menyelenggarakan semester dengan soal yang dibuat oleh kecamatan/gugus atau di Jawa sering disebut KOMDA, tanpa melibatkan guru-guru di setiap sekolah. Ini menunjukkan betapa pemerintah Indonesia tidak percaya pada kemampuan guru di masing-masing sekolah−yang notabene guru sertifikasi−untuk menguji kemampuan peserta didik masing-masing.
Kalau memang masih diragukan, mengapa disertifikasi? Bukankah banyak yang lain yang lebih patut untuk menyandang gelar guru sertifikasi?
Alternatif mengatasi akibat adanya UN
UN sebagai salah satu bentuk uji kemampuan peserta didik dalam menguasai Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada tingkat satuan pendidikan harus diadakan, akan tetapi UN sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya standar kelulusan. Penulis sepakat dengan SMA yang berani tidak meluluskan peserta didiknya dengan alasan ada beberapa mata pelajaran yang belum tuntas pada semester-semester sebelumnya, yang dilatarbelakangi oleh siswa yang tidak mau ikut program remedial. Namun sangat disayangkan juga, ada siswa yang setiap hari dikenal baik dan tekun dalam semua kegiatan, memiliki kompetensi yang lebih tinggi dari peserta didik yang lain, bahkan sampai berkesempatan keliling Asia berkat prestasi yang dimiliki, namun dalam Ujian Nasional harus kecewa karena ada salah satu mata pelajaran memperoleh nilai 3.
Dengan demikian, pantas atau tidaknya seorang peserta didik memperoleh predikat lulus, sebaiknya ditentukan oleh sekolah yang bersangkutan, bukan ditentukan oleh nilai UN. Hal ini didasarkan oleh rasa kepedulian guru terhadap prestasi yang di peroleh peserta didik.
Oleh karena itu, UN harus diadakan untuk mengetahui tingkat kemajuan pendidikan suatu daerah secara universal, tetapi UN tidak boleh dijadikan sebagai penentu kelulusan seorang peserta didik. Psikologis seseorang boleh jadi tertekan ketika menjawab soal-soal UN, yang sebetulnya jika dalam kondisi yang normal, peserta didik tersebut dapat menjawab soal-soal dengan sempurna. Untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang peserta didik perlu ditinjau dari multi dimensi, baik psikologis, psikis, maupun sosiologis, sehingga pihak sekolah dapat menentukan langkah yang lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Langkah ini merupakan langkah yang sangat ideal, karena dari aspek otonomi juga mencerminkan langkah yang proporsional, dari aspek sosiologis, guru yang lebih mengetahui keadaan peserta didiknya, bukan “Scanner” korektor LJK, syukurlah masih ada celah bermain 40%.